Aku Yang Belum Bisa Kaya

Finance.detik.com
Ketika penulis sedang berangkat kerja menyusuri jalan dikota ini --kota penulis merantau, tepatnya didaerah Kabupaten Bekasi. Penulis melihat para buruh pabrik sedang berangkat kerja pagi dengan penuh tergesa-gesa mungkin disebabkan takut telat masuk kerja. Untuk mengejar target menyambung hidup sampai-sampai mengendarai motor dan mobilnya ngebut, dan tidak tertib dalam berlalu lintas. Jalan macet tidak ada yang mau mengalah, contohnya; seperti jalan di Kalimalang Bekasi, setiap pagi dan sore hari pada saat jam berangkat dan pulang kerja.

Penulis paham kerja mereka begitu berat bahkan dituntut tepat waktu sehingga berangkat kerja lebih awal mulai dari jam 05.30, guna mengejar waktu agar tidak telat masuk kerja, karena perjalanan jauh, ada juga yang dekat antara tempat tinggal dengan tempat kerja. Biasanya, ada yang pulang kerja sampai jam 21.00 --sedang lembur. Tapi upah mereka sebanding dengan cara mereka bekerja, bagi penulis memandangnya seperti itu. Sepertinya enak melihat kehidupan orang lain, karena penulis hanya mekanik dengan upah seadanya --hanya bisa bersyukur.

Yang tidak habis penulis fikirkan, kenapa justru dalam hal bekerja penulis tidak semangat seperti mereka, kerja yang penting kerja, kerja, dan kerja ee..aa, seperti slogan-nya Pak Jokowi saja. Bisa memberi makan anak istri yang halal, padahal juga ingin menjadi orang kaya --punya harta benda, tapi kenapa hati dan fikiran ini masih menerapkan standar hidup yang biasa saja tidak ada semangat untuk merubah nasib.
Islam anti kemiskinan, tetapi harus peduli  dan membantu sesama orang miskin 

Mengurus Islam Lewat Muhammadiyah

Beda hal-nya dengan me-Ngaji, bagi penulis ngaji dan mengurus Muhammadiyah merasa lebih penting. Penulis pulang kerja belum makan, belum mandi rela kebut-kebutan dijalan demi sampai Masjid tempat langganan biasa mengaji malam Ahad. Pulang kerja jam 19.00 malam, sementara ngaji waktu-nya habis Isya terpaksa di kejar, walaupun macet sekalipun tidak mau mengalah agar tidak telat ikut pengajian --sampai masjid.

Saat hujan deras-pun berangkat dengan dilindungi jas hujan bekas TNI, jas hujan merk TNI itu penulis dikasih oleh anaknya TNI kebetulan dia teman penulis saat kerja dulu. Jas hujan yang hanya bisa menutupi cuma sampai lutut saja --modelnya bukan resleting. Ini adalah jas hujan yang pakai kancing, jadi ada lubang-nya --bukan model celana dan baju. Sampai di masjid terkadang basah semua.

Penulis meminta izin pulang kerja lebih awal demi datang di tempat ngaji. Di bayar-pun tidak, tetapi kenapa hati ini begitu semangat. Apa yang penulis fikirkan kegiatan yang tak mendapatkan uang dan anak istri-pun ditinggalkan demi ngaji.

Hari sabtu dan ahad tidak boleh libur oleh perusahaan penulis memaksakan meminta izin untuk libur, demi kegiatan Muhammadiyah. Sekali lagi di bayar-pun tidak, apa yang salah pada diriku ini. Aku juga ingin hidup banyak uang bisa beramal untuk kemajuan Islam, tetapi hati ini hanya tenang --bersyukur saja, tidak ada kata ‘harus’ bisa kaya, malah berfikir sudah bersyukur saja. Maafkan aku yang belum bisa kaya wahai istriku.
         Bagi penulis dari pada kerja, kerja, dan kerja penulis lebih ingin membantu meningkatkan IQ Nasional dengan cara berpikir, berpikir, dan berpikir

Misalnya, seperti di Muhammadiyah punya tradisi berfikir, bayangkan saja kalau Muhammadiyah mogok berfikir dan lebih penting mengurusi politik kepentingan sesaat. Padahal Muhammadiyah punya 178 Universitas kalau seandainya 1 Universitas saja terdapat 7.000 mahasiswa terus di kalikan 178 Universitas jadi ada sekitar 1 juta mahasiswa. Kalau Muhammadiyah mogok berfikir berapa persen IQ Nasional turun.

Adis Setiawan
Adis Setiawan Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya

Post a Comment for "Aku Yang Belum Bisa Kaya"